BERITA SOLO ■ Sejak awal adanya wacana omnibus law, kemudian masuk ke program legislasi nasional (prolegnas), dilanjutkan proses penyusunan dan pembahasan di DPR hingga disahkan, RUU Cipta Kerja selalu mendapat sorotan tajam dari berbagai elemen masyarakat. Berbagai celah dan persoalan yang dikandung oleh RUU ini begitu ‘lengkap’ mulai dari sosialisasi dan pelibatan publik yang minim, proses pembahasan yang tergesa-gesa, kontroversi beragam pasal hingga naskah undang-undang (UU) yang berbeda-beda jumlah halaman setelah disahkan DPR. Tidak heran, UU ini melahirkan begitu banyak polemik yang memuncak di hari-hari belakangan ini.
Menurut Anggota DPD RI Fahira Idris harusnya sejak awal, baik Pemerintah maupun DPR menangkap adanya kegelisahan besar publik akan hadirnya Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Kegelisahan publik ini harusnya dikelola dengan baik dengan melibatkan sebanyak dan semasif mungkin pelibatan publik dan semua stakeholder utama RUU Cipta Kerja dalam penyusunan dan pembahasan RUU ini. Namun, sayangnya hal ini tidak maksimal dijalankan sehingga protes publik semakin membuncah hari-hari belakangan ini.
“Banyak celah dan persoalan yang mengitari Undang-Undang Cipta Kerja. Ini yang membuat protes publik bisa sebesar ini. Saya merasa sejak bangsa ini merdeka, tidak pernah terjadi sebuah undang-undang yang diprotes publik semasif ini. Undang-undang ini benar-benar telah banyak menghabiskan energi kita sebagai sebuah bangsa. Saya sangat prihatin,” ujar Fahira Idris di Jakarta (15/10).
Fahira mengungkapkan, ekspektasi utama publik saat ini adalah gerak cepat Pemerintah mengendalikan laju penyebaran pandemi Covid-19 agar rakyat bisa kembali menggerakkan roda ekonomi yang terganggu bahkan terhenti akibat hantaman wabah ini. Namun, ekspektasi itu hingga detik ini belum terpenuhi dan kini publik malah dihadirkan kegelisahan baru yaitu polemik UU Cipta Kerja.
Di masa pandemi dan di tengah ancaman virus yang sangat berbahaya seperti ini harusnya para pengambil kebijakan dan pemilik kekuasaan di negeri ini bisa menahan diri untuk tidak menambah kegelisahan publik. Publik butuh ketenangan agar bisa fokus membantu negara mengendalikan Covid-19. Publik juga butuh fokus agar mampu bertahan di tengah himpitan ekonomi akibat pandemi.
“Di masa pandemi seperti ini harusnya kontroversi-kontroversi yang menguras energi seperti ini tidak terjadi. Makanya sejak awal saya meminta Pemerintah dan DPR menunda dulu pembahasan RUU ini sampai pandemi bisa dikendalikan. Kalau situasi pandemi sudah terkendali, formulasikan ulang kembali RUU ini dengan melibatkan sebanyak mungkin partisipasi publik,” pungkas Senator Jakarta ini. (FI)