BERITA SOLO ■ Gelombang penolakan terhadapa Maklumat Kapolri terus bermunculan.
Kali ini berasal dari Aliansi Organisasi Masyarakat Sipil yang terdiri ELSAM, ICJR, LBH Pers, PSHK, YLBHI, LBH Masyarakat, KontraS, PBHI dan IMPARSIAL
Dala rilis tertulisnya, Alian Organisasi Masyarakat sipil menilai Maklumat Kapolri yang merupakan tindak lanjut atas SKB Menteri terkait dengan larangan kegiatan dan penggunaan simbol Front Pembela Islam (FPI) justru memicu kontroversi.
Aliansi menyoroti aspek pembatasan hak asasi manusia.
Yang menjadi sorotan dalam kajian Aliansi adalah perihal larangan mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial, sebagaimana diatur oleh poin 2d, yang disertai ancaman tindakan hukum, seperti disebutkan dalam poin 3 Maklumat.
"Akses terhadap konten internet merupakan bagian dari hak atas informasi yang dilindungi UUD 1945, khususnya dalam ketentuan Pasal 28F, dan juga sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti Pasal 14 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia," demikian pendapat Aliansi organisasi masyarakat sipil, Sabtu (2/1).
Lebih lanjut Aliansi mengatakan setiap tindakan pembatasan terhadap hak-hak tersebut, harus sepenuhnya tunduk pada prinsip dan kaidah pembatasan, sebagaimana diatur Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Selain itu, khusus dalam konteks pembatasan hak atas informasi, sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, juga tunduk pada mekanisme yang diatur Pasal 19 ayat (3) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP), yang telah disahkan dalam hukum Indonesia melalui UU 12/2005.
Aliansi mendesak Kapolri untuk merevisi Maklumatnya, khususnya mencabut ketentuan 2d yang ada di Maklumat tersebut.
"Hal ini untuk memastikan setiap tindakan hukum yang dilakukan sejalan dengan keseluruhan prinsip negara hukum dan hak asasi manusia. Termasuk konsistensi dengan Peraturan Kapolri 8/2009," demikiam desakan Aliansi organisasi Masyarakat Sipil. (rmol)