Penulis : Lukman369/aktivis'98
Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer Gerungan layak mendapatkan apresiasi atas respon cepat dan tanggapnya dalam menghadapi krisis yang melanda PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Langkah sigap Wamenaker yang turun langsung ke lapangan mencerminkan prinsip "Leadership in Crisis," di mana seorang pemimpin tidak hanya berdiam diri di balik meja, melainkan hadir untuk memberikan dukungan nyata kepada para pekerja yang menghadapi ketidakpastian.
Dalam situasi seperti ini, teori Situational Leadership dari Paul Hersey dan Ken Blanchard sangat relevan, karena mengajarkan bahwa pemimpin harus mampu menyesuaikan gaya kepemimpinannya sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Kehadiran Wamen di pabrik Sritex membawa ketenangan bagi para karyawan, sekaligus menunjukkan bahwa pemerintah siap mengambil langkah konkret untuk memastikan hak-hak pekerja terlindungi dengan baik.
Lebih jauh lagi, inisiatif Wamenaker yang mengedepankan dialog dengan manajemen perusahaan dan perwakilan karyawan menunjukkan implementasi dari teori Employee Engagement, yang menekankan pentingnya partisipasi karyawan dalam pengambilan keputusan. Ketika seorang pemimpin mau mendengarkan aspirasi dan kekhawatiran karyawan, hal tersebut tidak hanya membangun kepercayaan, tetapi juga meningkatkan semangat dan loyalitas tenaga kerja. Sebagaimana dikatakan oleh Douglas McGregor dalam Theory Y, manusia pada dasarnya ingin berkontribusi dan merasa dihargai dalam pekerjaannya.
Pendekatan Wamen yang responsif dan empatik ini menjadi contoh bagaimana kepemimpinan yang melibatkan dan memahami bisa membantu meredakan kekhawatiran di tengah situasi krisis, sekaligus membuka jalan bagi solusi yang lebih berkelanjutan bagi perusahaan dan para pekerjanya.
Sebagai tindak lanjut, Wamenaker dapat mempertimbangkan program restrukturisasi utang melalui pertemuan dengan kurator, manajemen Sritex, dan kreditur utama seperti PT Indo Bharat Rayon. Pemerintah dapat menawarkan dukungan likuiditas sementara melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Bank Indonesia.
Selain itu, penyediaan bahan baku bersubsidi melalui Kementerian Perindustrian juga bisa menjadi solusi untuk menekan biaya produksi. Pemerintah harus fokus pada perlindungan karyawan dengan menginisiasi program bantuan sosial dan pelatihan ulang (re-skilling) untuk karyawan yang terdampak, sehingga mereka memiliki keterampilan baru yang relevan dengan industri lain.
Di sisi lain, diversifikasi produksi menjadi opsi strategis, dengan mendorong Sritex untuk memproduksi barang yang memiliki permintaan tinggi seperti masker kain dan alat pelindung diri (APD). Pemerintah juga perlu memfasilitasi ekspansi pasar ekspor untuk membuka peluang baru bagi produk Sritex, memanfaatkan perjanjian dagang internasional yang sudah ada.
Kolaborasi dengan Pemerintah Daerah Jawa Tengah serta pembentukan satuan tugas khusus akan memperkuat koordinasi lintas sektor, memastikan implementasi kebijakan berjalan efektif, dan menghindari PHK massal. Dengan langkah-langkah strategis ini, diharapkan Sritex dapat pulih dan kembali berkontribusi pada industri tekstil nasional, sekaligus menjaga kesejahteraan para karyawannya.(**)