BERITA SOLO | SURAKARTA — Putera Mahkota Keraton Kasunanan Surakarta, KGPAA Hamengkunegoro Sudibya Rajaputra Narendra Mataram, tidak akan meminta maaf atas unggahan story Instagram miliknya.
Sebelumnya, unggahan KGPAA Hamengkunegoro berbunyi 'Percuma gabung Republik' di Insta Story menghebohkan publik di dunia maya beberapa hari terakhir ini.
Praktisi Hukum Rio Rama Baskara, yang juga Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara menanggapi curhatan KGPAA Hamengkunegoro, menurutnya dalam wawancara dengan Swara Rakyat mengatakan, "Keriuhan tersebut, sebenarnya adalah momentum untuk kembali membuka lembaran sejarah, bahwa Surakarta adalah daerah yang paling awal bergabung dengan Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 1945," ujar Rio Rama Baskara.
Rio Rama Baskara Menceritakan Bahwa, "Kakeknya dulu (PB XII) dijanjikan provinsi daerah istimewa (tertuang dalam penetapan pemerintah nomor 16/SD tahun 1946) yang untuk sementara waktu karena terjadi situasi darurat, maka surakarta dijadikan sebatas karesidenan," katanya.
Dia memaparkan, bahwa dulu Pemerintah Republik pernah berjanji tapi tak kunjung terealisasi, malah pada tahun 1950 dimasukkan menjadi karesidenan terakhir dalam pembentulan provinsi jawa tengah.
"Selain itu juga, jika dicermati dari diktum kedua Penetapan Pemerintah tersebut, harusnya ada undang-undang tersendiri yang khusus memayungi keistimewaan, bisa disebut Undang-undang Pokok Keistimewaan. Tapi sayangnya sampai saat ini juga belum terealisasi. Meski diperlakukan demikian, Kecintaan Surakarta pada Indonesia tidak kurang-kurang. Surakarta berkontribusi besar untuk sejarah awal Republik Indonesia," ujarnya.
Berikut Dalil yang dikutip Rio Rama Baskara, dari pandangan KRMH Woerjaningrat di depan sidang anggota Konstituante pada 15 Juli 1956 :
Janji Republik terhadap Daerah Istimewa Surakarta Belum Ditepati
*) Mengungkap Testimoni Anggota BPUPKI Woerjaningrat dan Surat PB XII
Sepuluh tahun setelah terbitnya Penetapan Pemerintah No. 16/SD Tahun 1946 tentang Pemerintahan di Daerah Istimewa Surakarta dan Jogjakarta, Anggota BPUPKI dan mantan anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI KRMH Woerjaningrat menyampaikan pandangan di depan sidang anggota Konstituante pada 15 Juli 1956.
Dalam kesempatan itu Woerjaningrat menyajikan uraian mengenai pokok-pokok peristiwa dalam lingkungan Daerah Istimewa Surakarta. Pidato Woerjaningrat ini kemudian dituangkan dalam buku berjudul “Sekadar Uraian tentang Daerah Istimewa Surakarta setelah Proklamasi Kemerdekaan,”.
“Hemat saya, Mukadimah serta apa yang tercantum dalam UUD kita mengenai Daerah Istimewa adalah baik. Hanya Pemerintah lah yang kelihatan ragu-ragu dalam tindakan-tindakanya, hingga menimbulkan kesan seolah-olah segan menepatinya. Terbukti sudah hampir 10 tahun Daerah Istimewa Surakarta dibeku, sampai kini belum ada keputusannya,” tulis Woerjaningrat.
Adapun uraiannya, Woerjaningrat yang ditunjuk sebagai pelaksana tugas (Plt) Pepatih dalem Kasunanan Surakarta atau semacam sekretaris daerah oleh Susuhunan Paku Buwono (PB) XII mengatakan, pada 1 September 1945, PB XII mengeluarkan maklumat. Ada tiga hal pokok dari maklumat tersebut. Pertama, PB XII berdiri di belakang Pemerintah Pusat RI.
Kedua, Surakarta adalah Daerah Istimewa RI dan ketiga, hubungan antara Daerah Istimewa Surakarta dengan Pemerintah Pusat bersifat langsung.
Tidak lama kemudian, Pemerintah Pusat RI mengirimkan utusannya seorang menteri negara Mr Sartono untuk menyampaikan Piagam bahwa Presiden RI Soekarno menetapkan Sri Susuhunan Paku Buwono XII tetap pada kedudukannya. Piagam kedudukan itu tertanggal 19 Agustus 1945.
Sejak permulaan 1946 di Surakarta timbul gerakan yang sering didengungkan sebagai revolusi sosial. Dalam suasana tegang yang meliputi Surakarta.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Dr Soedarsono sering berkunjung ke Keraton Surakarta untuk menemui Sri Susuhunan. Semua peristiwa telah dilaporkan.
Pada suatu hari, saat mendampingi PB XII ikut menemui Mendagri, Woerjaningrat mengusulkan supaya pemerintahan daerah sementara (voorlopig) dipegang dulu oleh Pemerintah Pusat RI. Sebab, bila pihak Keraton Surakarta sampai marah, amat tidak baik bagi Pemerintah Pusat RI maupu bagi kebangsaan kita.
Karena gerakan menentang Daerah Istimewa itu berarti menentang UUD, jadi juga melawan kekuasaan Pemerintah Pusat RI. Padahal bangsa Indonesia di sementara tempat seperti Jakarta, Semarang, Surabaya dan lain-lain masih berperang melawan bangsa asing yang ingin menjajah kembali tanah air kita.
Kesulitan semakin banyak. Dalam keadaan yang demikian itu, PB XII menetapkan Woerjaningrat sebagai acting wakil pepatih dalem. Tiap-tiap gerakan menentang Daerah Istimewa disertai dengan orang-orang bersenjata lengkap. Hampir setiap gerakannya diikuti dengan ancaman. Juga pada waktu meng-coup (kudeta) kekuasaan wakil pepatih dalem serta Sri Susuhunan.
Menghadapi gerakan inkonstitusional itu, Woerjaningat dan PB XII pada pokoknya sama. “Kekuasaan yang ada pada kami tidak dapat diserahkan begitu saja, karena Pemerintah Pusat RI telah mempercayakan kepada kami sehingga bila minta kekuasaan itu semestinyalah kepada Pemerintah Pusat RI,” begitu jawaban Woerjaningrat.
Tanggal 22 Mei 1946 Perdana Menteri Sutan Sjahrir dengan menteri-menteri dari kabinetnya datang ke Surakarta. Petang harinya bertempat di gedung Javasche Bank (sekarang Bank Indonesia) diadakan pertemuan dengan PB XII, Woerjaningrat, Mangkunegara VIII dan pepatih Mangkunegaran KRMH Partono Handoyonoto.
Dalam pertemuan itu, Woerjaningrat diminta menjelaskan usul yang pernah disampaikan kepada Mendagri Dr Soedarsono di dalam pertemuan di Keraton Surakarta. Bila disetujui pemerintahan daerah (voolopig) dipegang dahulu oleh Pemerintah Pusat RI untuk kemudian semufakat dengan pihak Daerah Istimewa diatur bagaimana baiknya. Sesudah itu dikembalikan lagi kepada yang berhak Susuhunan PB XII dan Mangkunegara VIII.
Usul itu diterima pemerintah.
Pertengahan Juli 1946 Presiden RI Soekarno datang ke Surakarta. Dalam pidatonya presiden menyatakan daerah Surakarta sementara (voorlopig) dipandang merupakan Karesidenan serta melantik residen yang pertama Mr Iskaq Tjokroadisoerjo. Istilah residensi sementara tidak hanya diucapkan presiden saja, tapi juga pembesar-pembesar pemerintahan lainnya.
Dari uraian itu jelaslah adanya Daerah Istimewa Surakarta diakui dalam UUD yang diproklamasikan bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan. Dalam Maklumat 1 September 1945, Sri Susuhunan Paku Buwono XII menyatakan berdiri di belakang Pemerintah Pusat RI dan daerah Surakarta adalah wilayah RI. Pemerintah Pusat RI telah mengesahkan dengan memberikan Piagam kepada Sri Susuhunan Paku Buwono XII.
Adanya Karesidenan sementara (voorlopig) karena kerelaan Sri Susuhunan Paku Buwono XII dan Mangkunegara VIII yang mengutamakan persatuan dan kesatuan serta kepercayaan kepada Pemerintah Pusat RI yang pasti menepati semestinya.
Woerjaningrat menilai tindakan pemerintah terhadap Daerah Istimewa Surakarta tidak tepat dilakukan karena pemerintah menyimpang dari mukadimah UUD dan tidak menepati janji-janjinya sendiri. ”Manakah negara hukum yang lazim menjadi dasar negara-negara merdeka lainnya,” gugatnya.
Berkali-kali Pemerintah Pusat RI mengadakan pembicaraan mengenai susunan pemerintahan dengan pihak Kasunanan dan Mangkunegaran. Terakhir pertemuan diadakan di Loji Gandrung pada 8 Februari 1950. Antara lain diputuskan Balai Kota Surakarta dimasukan ke dalam Daerah Istimewa Surakarta.
Sikap ini juga sejalan dengan surat Susuhunan Paku Buwono XII yang mengirimkan surat ke Pemerintah Pusat pada 12 Agustus 1950. Salah satu poin dari surat tersebut berupa penolakan Kasunanan Surakarta terkait tersiarnya berita Daerah Istimewa Surakarta akan dimasukkan dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah.
“Kami telah menyatakan tidak setuju sebagaimana surat kami kepada Yang Mulia Menteri Dalam Negeri tanggal 3 Juli 1950 No. 142/R,” tulis Paku Buwono XII. (*)